Robo-Robo

Tepat hari Rabu terakhir bulan Shafar, beberapa titik di Kalimantan Barat disulap menjadi arena perhelatan akbar. Bahkan beberapa hari menjelang puncak, arena telah mulai dipadati banyak pedagang kecil. Mereka berupaya menyediakan segala bentuk kebutuhan para pengunjung.
Makanan, minuman, pakaian, hingga cinderamata, akan sangat mudah ditemukan di arena yang umumnya pesisir sungai itu. Demikianlah kurang lebih deskripsi perhelatan akbar yang oleh masyarakat dinamai Robo`Robo` itu. Sebuah tradisi yang diyakini warisan turun-temurun sejak zaman kerajaan. Konon, penamaan robo`-robo` merupakan plesetan dari kata rabu, sebagai hari pelaksanaan tradisi itu. Hingga kini, tradisi ini sedianya eksis mengisi ceremoni rutin tahunan di Kalimantan Barat.

Keberadaan tradisi robo`-robo`, sejatinya ingin mengejawantahkan aktifitas spiritual. Momentum penghujung bulan Shafar, ingin dicitrakan sebagai agenda doa tolak bala bersama, baik pihak keraton dan segenap rakyatnya. Dari kaca mata sosiologis, di awal kemunculannya, tradisi ini dipandang sukses mengakrabkan penguasa dengan rakyat. Pasalnya, tradisi itu tidak semata-mata bertendensi spiritual. Aneka perlombaan tradisional, justru menjadi agenda yang dinanti-nanti. Selain juga, sebagain masyarakat lebih senang menjadikannya wahana wisata belanja. Yang jelas, aktifitas spiritual merupakan icon utama yang ingin dihadirkan dalam tradisi itu. Icon ini pulalah yang selanjutnya memicu timbulnya kerancuan status robo`-robo` dalam legitimasi agama. Sebagian pihak, berdasarkan nilai spiritual tradisi itu, lantas menyandangkan identitas agama terhadapnya. Bahwa tradisi robo`-robo` adalah bagian dari agama Islam yang keberadaannya harus diberikan tempat yang tinggi.

Sebelum lebih lanjut justifikasi itu dikonfronter, perlu ditilik terlebih dahulu perkembangan robo`-robo` dewasa ini. Dalam perjalanannya, didapati sekian nuansa baru yang menambah variasi warna dalam tradisi itu. Warna-warni, yang tak sepenuhnya seirama dengan subtansi robo`-robo` yang sejatinya suci. Kenyataan beberapa tahun belakangan, pelaksanaan agenda besar itu justru menjadi ajang muda-mudi berekspresi. Eskpresi itu, sebagaimana yang umum diketahui, jelas telah terkontaminasi oleh nilai-nilai kekinian yang cenderung destruktif. Kehadiran efek destruksi ini, tentu sangat menggangu sakralitas robo`robo` sebagai agenda spiritual. Terlebih, spirit agama sangat tidak memberikan ruang terhadap nuansa destruktif itu.

Berdasarkan realita demikian ini, agaknya, terhadap identitas tradisi robo`-robo`, harus dilakukan penyesuaian. Penyesuaian identitas itu harus diarahkan kepada independensi tradisi robo`-robo`. Ia harus sebisa mungkin dikembalikan kepada statusnya yang sejati. Robo`-robo` harus direposisi sebagai sebuah bentuk adat-istiadat dan kekayaan budaya secara independen. Kendati secara subtansi ia mengusung citra spiritual, namun hal itu agar tidak dijadikan alasan identitas agama atasnya. Apalagi setelah warna-warna destruksi, tanpa disadari ikut andil menyemarakkan tradisi itu, maka spirit agama kian jauh meninggalkannya.

Kehadiran agama Islam lewat Muhammad saw, pun pada awalnya sangat sering berhadapan dengan keragaman budaya dan istiadat bangsa Arab. Terhadap keragaman itu, Islam bersifat fleksibel namun sangat tegas. Islam tidak serta-merta memberikan rapor merah kepada bentuk budaya yang secara jelas kontradiksi dengan spirit agama. Kalaupun Islam menolak sesuatu yang telah mapan membudaya, maka penolakan itu akan dilakukan secara persuasif, dan menghadirkan tahapan-tahapan yang terukur. Hal ini tampak ketika Islam harus berhadapan dengan tradisi perbudakan. Islam, kendati menolak budaya itu karena sangat bertentangan dengan nilai luhur kemanusiaan, tapi dengan sangat bijak mengikisnya lewat regulasi hukum. Sementara ketika berhadapan dengan budaya yang dapat diterima, Islam pun tidak dengan serta-merta meluluskannya sebagai bagian dari ajaran agama. Islam akan terlebih-dahulu memberikan sebentuk catatan dan kriteria. Ketika kriteria itu dipenuhi, maka Islam akan dengan besar hati mengakuinya. Hal ini pulalah yang terjadi dalam berlakunya syariat poligami dalam Islam. Salah satu kriteria utama, bahwa budaya itu harus bersifat konstruktif terhadap keberagamaan, bukan sebaliknya.

Berkaca pada karakteristik inklusifitas agama itu, maka tradisi robo`-robo` sedianya harus diberi tempat yang luhur dalam bermasyarakat. Selain karena ia sangat positif secara konsesus masyarakat, tradisi itu juga secara subtansi berhaluan seirama dengan maksud kebersamaan. Tapi kendati demikian, agama harus sebisa mungkin mengambil posisi yang aman. Aman dalam pengertian ini, berarti menjauh dari sumber yang berpotensi menodai sakralitasnya sebagai wahyu. Namun jika kuat, agama sesungguhnya dapat diperankan sebagai filter terhadap warna-warni baru, yang ingin atau telah terlanjur ikut serta meramaikan keagungan tradisi robo`-robo`.

Peran agama sebagai filter, akan memberikan arti bahwa segala yang di luar agama harus tunduk. Konsekuensi filterisasi ini, mungkin terlalu dini jika diperankan secara terang-terangan. Di luar sana, sesungguhnya terlalu banyak aral melintang yang setiap detik mengancam sakralitas agama. Karenanya, lakon sebagai filter ini sementara waktu akan sangat tepat diperankan secara gerilya. Cara ini sebagai sikap atas konteks agama, yang dewasa ini posisinya sangat riskan, akibat nuansa demokrasi yang tidak utuh. Agama harus jeli melihat peluang untuk bisa mengambil peran filterisasi ini. Untuk tujuan itu, filterisasi harus meminimalisir mengusung bingkai Agama. Filterisasi sejatinya akan telah sempurna, jika spirit agama berhasil mengisi ruang-ruang yang dipandang destruktif, tanpa harus menyertakan bingkainya. Bingkai agama sementara waktu akan lebih aman berada dalam bangku aksioma berkeyakinan.

Menghadirkan agama sebagai filter harus diyakini sebagai keniscayaan. Tapi, kaitannya dengan tradisi robo`-robo`, agama harus menemukan independensi, sebagaimana tradisi itu harus pula independen. Robo`-robo` harus tetap menjadi signal kehidupan budaya daerah, sehingga eksistensinya tidak perlu diganggu-gugat. Sebagai pewaris budaya itu, generasi muda daerah, harus selektif mengiyakan aneka warna baru yang ingin berperan di dalamnya. Seraya tanggap melestarikan warisan itu dengan berusaha menolak apapun yang berpotensi menodai sakralitasnya sebagai budaya yang bernilai spiritual. Selama upaya pelestarian itu, identitas agama harus dipastikan berada di tempat terpisah. Karena apapun alasannya, selama sebuah tradisi belum secara utuh memenuhi kriteria dari agama, ia akan lebih tepat diposisikan secara independen. Selanjutnya, kerancuan antara agama dan budaya akan dengan mudah dideteksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar